Alhamdulillah, salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan sahabatnya.
Bersama pesatnya perkembangan sarana informasi dan transportasi maka berkembang pula perniagaan umat manusia, baik ditinjau dari objek, model, jangkauan, atau pun kapasitasnya. Di antara objek niaga zaman sekarang ialah berbagai surat berharga, dan saham adalah salah satunya.
Saham adalah tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Biasanya, saham diwujudkan dalam selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik lembar saham ini adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat berharga ini.
Dengan demikian, sebesar penyertaan dana Anda di suatu perusahaan maka sebesar itu pula kadar kepemilikan Anda terhadap perusahaan tersebut. Sebaliknya, dapat dipahami pula, bahwa idealnya, tanggung jawab Anda atas perusahaan terkait pula dengan besar nilai saham yang Anda miliki.
Hanya saja pada praktiknya, terdapat banyak hal yang harus Anda perhatikan sebelum Anda membeli saham suatu perusahaan.
Macam-macam Saham dan Hukumnya
Saham dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Ditinjau dari segi kemampuan dalam hak tagih atau klaim, saham dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis:
Jenis pertama, saham biasa (common stock)
Inilah saham yang paling banyak diperjual-belikan di pasar modal dan yang paling sering menjadi tema pembahasan di masyarakat. Karakteristik saham biasa (common stock):
- Tujuan investor atau pemilik saham jenis ini biasanya adalah ingin mendapatkan pembagian deviden (keuntungan usaha perusahaan) atau memperoleh capital gain (selisih harga beli dan jual) jika terjadi kenaikan harga.
- Pemiliknya paling terakhir dalam mendapatkan bagian deviden dan hak atas harta kekayaan perusahaan apabila perusahaan terkait mengalami kerugian atau pailit.
- Pemiliknya hanya mendapatkan deviden bila perusahaan berhasil membukukan keuntungan.
- Pemegang saham memiliki hak suara dalam RUPS (rapat umum pemegang saham).
- Pemilik saham berhak mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada orang lain, dengan cara-cara yang dibenarkan dalam.
Secara hukum dan prinsip syariat Islam, tidak mengapa jika Anda memiliki saham jenis ini. Tentunya, dengan mengindahkan beberapa catatan yang akan disebutkan pada akhir tulisan ini. Yang demikian itu dikarenakan perserikatan dagang dalam Islam dibangun di atas asas kesamaan hak dan kewajiban, dan hal ini benar-benar terwujud pada saham jenis ini. Karenanya, tidak ada keraguan bahwa menerbitkan dan memperjual-belikan saham jenis ini adalah halal. (Suq al-Auraq al-Maliyah oleh Dr. Khursyid Asyraf Iqbal, hlm. 123; Ahkamut Ta’amul fil Aswaq al-Maliyah oleh Dr. Mubarak bin Sulaiman al-Sulaiman: 1/148)
Jenis kedua, saham istimewa/preferen (preffered stock)
Sejatinya, saham preferen ini adalah gabungan antara saham biasa dengan obligasi. Karakteristik saham istimewa merupakan gabungan antara karakteristik obligasi dan karakteristik saham biasa. Karenanya, selain mendapatkan seluruh hak yang didapatkan oleh pemilik saham biasa, pemilik saham jenis ini juga mendapatkan hak-hak yang biasanya diberikan kepada para kreditur dalam obligasi.
Berikut ini adalah beberapa hak yang membedakan saham preferen dari saham biasa:
- Mendapatkan deviden dalam jumlah yang terjamin dan tetap dalam persentase (suku bunga). Pemegang saham jenis ini tetap menerima deviden, walaupun kinerja perusahaan merugi.
- Mendapatkan prioritas untuk mendapatkan dividen sebelum pemilik saham biasa.
- Mendapatkan prioritas dalam hak suara dibanding pemilik saham biasa.
Para ulama ahli fikih zaman sekarang -sebatas yang saya ketahui- sepakat untuk mengharamkan penerbitan dan memperjual-belikan saham jenis ini, dengan beberapa alasan berikut:
- Para pemilik saham preferen tidak memiliki kelebihan yang menyebabkannya mendapatkan perilaku istimewa ini. Padahal, keuntungan dalam usaha hanya diberikan kepada pamilik modal dan atau keahlian, sedangkan pemegang saham preferen tidak memiliki kelebihan dalam dua hal itu dibanding pemegang saham biasa. Ibnu Qudamah berkata, “Seseorang berhak mendapatkan keuntungan dikarenakan ia memiliki andil dengan modal atau keahlian. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk memberikan persentase keuntungan yang melebihi total modal sekutu pasif. Sehingga, persyaratan semacam ini tidak sah.” (Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 7/139)
- Keuntungan yang diberikan kepada pemilik saham preferen sejatinya adalah riba, karena modal mereka terjamin dan tetap mendapatkan keuntungan, walaupun kinerja perusahaan merugi. Tidak diragukan lagi, ini adalah kelaliman dan salah satu bentuk pengambilan harta orang lain dengan cara-cara yang menyelisihi syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
الخَرَاجُ بِالضَّمَانِ
“Penghasilan/keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian.” (Hr. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan an-Nasai; oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits hasan)
Tidak heran bila badan fikih di bawah organisasi OKI, yaitu International Islamic Fiqih Academy, dengan tegas menyatakan,
لا يجوز إصدار أسهم ممتازة، لها خصائص مالية تؤدي إلى ضمان رأس المال أو ضمان قدر من الربح أو تقديمها عند التصفية، أو عند توزيع الأرباح
“Tidak boleh menerbitkan saham preferen yang memiliki konsekuensi pemberian jaminan atas dana investasi yang ditanamkan, atau memberikan keuntungan yang bersifat tetap, atau mendahulukan pemiliknya ketika pengembalian investasi atau pembagian deviden.” (Sidang Ke-7, Keputusan no. 63/1/7)
Saham Kosong
Ini adalah salah satu jenis saham yang sepantasnya Anda ketahui, selain kedua jenis yang telah dibahas di atas.
Saham kosong biasanya diberikan atas kesepakatan pemegang saham lainnya kepada pihak-pihak yang dianggap atau diharapkan berjasa pada perusahaan. Para penerima saham kosong ini berhak mendapatkan deviden dari keuntungan bersih perusahaan. Akan tetapi, saham ini memiliki berbagai perbedaan dari saham biasa:
- Saham kosong tidak memiliki nilai nominal yang tertulis pada lembar saham, sehingga haknya hanya sebatas mendapatkan dividen.
- Pemegang saham kosong tidak berhak menghadiri RUPS dan juga tidak memiliki wewenang untuk campur tangan dalam kebijaksanaan dan arah perusahaan.
- Saham kosong bisa dihapuskan, baik secara keseluruhan atau sebagian saja.
Berdasarkan karakter saham kosong demikian ini, kebanyakan ulama kontemporer melarang
penerbitan saham kosong, dengan beberapa alasan berikut:
Alasan pertama. Saham kosong sejatinya adalah salah satu bentuk jual-beli jasa, sehingga nominal nilai jualnya haruslah diketahui dan tidak dalam hitungan persentase dari keuntungan yang tidak menentu jumlahnya. Dengan demikian, saham kosong ini tercakup oleh keumuman hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli dengan cara melempar batu dan jual-beli yang mengandung gharar (unsur spekulasi).” (Hr. Muslim)
Alasan kedua. Saham kosong sering kali menjadi ancaman masa depan perusahaan dan merugikan para pemegang saham.
Alasan ketiga. Biasanya, saham kosong adalah pintu lebar untuk terjadinya praktik manipulasi, suap, dan tindakan-tindakan tercela lainnya. (Suq al-Auraq al-Maliyaholeh oleh Dr. Khursyid Asyraf Iqbal, hlm. 320–321 dan Al-Ashum was Sanadat wa Ahkamuha fil Fiqhil Islami, oleh Dr. Ahmad bin Muhammad al-Khalil, hlm. 173–174)
Kapan Anda Halal memperjual-belikan Saham?
Setelah Anda mengetahui hukum asal penerbitan dan memperjual-belikan ketiga jenis saham di atas, tidak sepantasnya Anda menutup mata dari fakta dan berbagai hal yang erat hubungannya dengan saham. Dengan demikian, Anda dapat mengetahui hukum masalah ini dengan benar, ditinjau dari segala aspeknya.
Berikut ini, saya ringkaskan berbagai persyaratan jual-beli saham yang telah dijelaskan ulama.
Syarat pertama. Perusahaan penerbit saham adalah perusahaan yang benar-benar telah beroperasi. Saham perusahaan semacam ini boleh diperjual-belikan dengan harga yang disepakati kedua belah pihak, baik dengan harga jual yang sama dengan nilai nominal yang tertera pada surat saham atau berbeda.
Adapun saham perusahaan yang sedang dirintis, sehingga kekayaannya masih dalam wujud uang, maka sahamnya tidak boleh diperjual-belikan kecuali dengan harga yang sama dengan nilai nominal saham.
Ditambah lagi, pembayaran hendaknya dilakukan dengan cara kontan. Hal ini dikarenakan setiap surat saham perusahaan jenis ini seutuhnya masih mewakili sejumlah uang modal yang tersimpan, dan tidak mewakili aset perusahaan. Sehingga, bila diperjual-belikan lebih mahal atau lebih murah dari nilai nominal saham, berarti telah terjadi praktik tukar-menukar mata uang dengan cara yang tidak dibenarkan.
Syarat kedua. Perusahaan penerbit saham sepenuhnya bergerak dalam usaha yang dihalalkan syariat, karena sebagai pemilik saham, seberapa pun besarnya, Anda adalah salah satu pemilik perusahaan tersebut. Dengan demikian, tanggung jawab Anda atas setiap usaha perusahan sebesar nilai saham Anda. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ,ح.
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Qs. al-Maidah: 2)
Syarat ketiga. Perusahaan terkait tidak melakukan praktik riba, baik pada pembiayaan, penyimpanan kekayaan, atau lainnya. Bila suatu perusahaan dalam pembiayaan atau penyimpanan kekayaannya menggunakan konsep riba, maka Anda tidak dibenarkan untuk membeli saham perusahaan tersebut.
Sebagai contoh, misalnya suatu perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi perabotan rumah tangga. Untuk membiayai usahanya, perusahaan tersebut memungut piutang dari bank ribawi, tentunya dengan suku bunga tertentu. Karena itu, Anda tidak dibenarkan untuk membeli saham perusahaan semacam ini. Ketentuan ini selaras dengan kaidah dalam ilmu fikih:
إِذَا اجْتَمَعَ الحَلاَلُ وَالْحَرَامُ، غُلِّبَ الْحَرَامُ
“Bila tercampur antara hal yang halal dengan hal yang haram, maka yang lebih dikuatkan adalah yang haram.”[1]
Syarat keempat. Penjualan dan pembeliannya dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan dalam syariat. Dengan demikian, berbagai hukum yang berlaku pada jual-beli biasa berlaku pula pada jual-beli saham. Misalnya, Anda tidak dibenarkan menjual kembali saham yang Anda beli sebelum saham tersebut sepenuhnya diserah-terimakan kepada Anda. Dengan demikian, metode jual-beli saham yang ada di masyarakat dan yang dikenal dengan sebutan “one day trading” atau yang serupa adalah metode yang tidak dibenarkan.
Berikut ini adalah gambaran singkat tentang metode ini:
Pengusaha berinisial B, misalnya, membeli sejumlah surat saham dari Broker A dengan pembayaran terutang, sedangkan surat saham yang telah dibeli tersebut tetap berada di tangan A sebagai jaminan atas pembayaran yang terhutang, sehingga B belum sepenuhnya menerima surat saham tersebut. Pada penutupan bursa saham di akhir hari, B berkewajiban menjual kembali saham tersebut kepada A. Pembayaran antara keduanya pada kedua transaksi tersebut hanya dilakukan dengan membayar selisih harga jual dari harga beli. Transaksi semacam ini termasuk transaksi riba yang diharamkan dalam Islam.
عن ابن عباس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قال قال رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : (مَنْ ابْتَاعَ طَعَاماً فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ) قال ابن عباس: وَأَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمْنْزِلَةِ الطَّعَامِ. قال طاوس: قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.`”
Ibnu ‘Abbas berkata, “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu barang hukumnya seperti hukum bahan makanan.” Thawus berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, ‘Bagaimana sehingga bisa demikian adanya?” Ia menjawab, “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda (sebatas kedok belaka).” (Muttafaqun ‘alaih)
Sebagaimana jual-beli ini juga dapat termasuk jual beli ‘inah yang diharamkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَئِنْ أَنْتُمُ اتَّبَعْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَتَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ لِيُلْزِمَنَّكُمُ اللَّهُ مَذَلَّةً فِى أَعْنَاقِكُمْ ثُمَّ لاَ تُنْزَعُ مِنْكُمْ حَتَّى تَرْجِعُونَ إِلَى مَا كُنْتُمْ عَلَيْهِ وَتَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ
“Bila kalian telah (sibuk dengan) mengikuti ekor-ekor sapi (beternak), berjual-beli dengan cara ‘inah dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan melekatkan kehinaan ditengkuk-tengkuk kalian, kemudian kehinaan tidak akan dicabut dari kalian hingga kalian kembali kepada keadaan kalian semula dan bertaubat kepada Allah.” (Hr. Ahmad, Abu Daud, dan al-Baihaqi; dinyatakan shahih oleh al-Albani)
Jual-beli ‘inah ialah Anda menjual suatu barang kepada orang lain dengan pembayaran terutang. Setelah jual-beli ini selesai, Anda kembali membeli barang tersebut dengan pembayaran kontan, dan tentunya dengan harga yang lebih murah.
Pendek kata, saham tak ubahnya barang komoditi lainnya. Dalam proses jual-belinya tetap harus mengindahkan berbagai hukum dan asas yang telah digariskan dalam Islam.
Berikut ini, saya nukilkan fatwa Badan Fikih Islam di bawah Organisasi Rabithah Alam Islami/Liga Muslim Dunia (Muslim World League).
Segala puji hanya milik Allah. Salawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tiada nabi setelahnya, yaitu pemimpin kita sekaligus nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kepada keluarga dan sahabatnya.
Amma ba’du.
Sesungguhnya anggota rapat al-Majma’ al-Fiqhi di bawah Rabithah Alam Islami, pada rapatnya ke-14, yang diadakan di kota Mekkah al-Mukarramah, yang dimulai dari hari Sabtu tanggal 20 Sya’ban 1415 H dan yang bertepatan dengan tanggal 21 Januari 1995 M, telah membahas permasalahan ini (jual-beli saham perusahaan, pen) dan kemudian menghasilkan keputusan berikut:
- Karena hukum dasar dalam perniagaan adalam halal dan mubah, maka mendirikan suatu perusahaan publik yang bertujuan dan bergerak dalam hal yang mubah adalah dibolehkan menurut syariat.
- Tidak diperselisihkan akan keharaman ikut serta menanam saham pada perusahaan-perusahaan yang tujuan utamanya diharamkan, misalnya bergerak dalam transaksi riba, memproduksi barang-barang haram, atau memperdagangkannya.
- Tidak dibolehkan bagi seorang muslim untuk membeli saham perusahaan atau badan usaha yang pada sebagian usahanya menjalankan praktik riba, sedangkan pembelinya mengetahui akan hal itu.
- Bila ada seseorang yang terlanjur membeli saham suatu perusahaan sedangkan ia tidak mengetahui bahwa perusahaan tersebut menjalankan transaksi riba, lalu di kemudian hari ia mengetahui hal tersebut, maka ia wajib untuk keluar dari perusahaan tersebut.
Keharaman membeli saham perusahaan tersebut telah jelas, berdasarkan keumuman dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah yang mengharamkan riba. Hal ini dikarenakan membeli saham perusahaan yang menjalankan transaksi riba sedangkan pembelinya telah mengetahui akan hal itu, berarti pembeli telah ikut ambil andil dalam transaksi riba.
Yang demikian itu karena saham merupakan bagian dari modal perusahaan, sehingga pemiliknya ikut memiliki sebagian dari aset perusahaan. Sehingga, pada seluruh harta yang dipiutangkan oleh perusahaan dengan mewajibkan bunga atau yang harta diutang oleh perusahaan dengan ketentuan membayar bunga, pemilik saham telah memiliki bagian dan andil darinya.
Hal ini disebabkan orang-orang (pelaksana perusahaan, pen) yang mengutangkan atau menerima piutang dengan ketentuan membayar bunga, sebenarnya adalah perwakilan dari pemilik saham, dan hukum mewakilkan seseorang untuk melakukan pekerjaan yang diharamkan adalah tidak boleh.
Semoga salawat dan salam yang berlimpah senantiasa dikaruniakan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya. Serta segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam.[2]
International Islamic Fiqih Academy, organisasi fikih internasional di bawah naungan OKI (Organisasi Konferensi Islam), pada sidangnya yang ke-7, keputusan no. 63 (1/7) juga memfatwakan hal yang sama.
Mungkin Anda berkata, “Bila hukum asal memperjual-belikan saham adalah halal, mengapa para ulama menambahkan beberapa persyaratan lain agar suatu saham boleh diperdagangkan?
Saudaraku, tidak perlu heran, karena saham tidak berbeda dari berbagai harta kekayaan lainnya, semisal padi, emas, hewan ternak, dan lainnya.
Walaupun berbagai harta ini halal untuk Anda perjual-belikan, tetapi tidak berarti Anda dapat melakukannya sesuka Anda. Beberapa batasan dan ketentuan harus Anda indahkan, agar peniagaan Anda selaras dengan syariat. Karenanya, Anda tidak dibenarkan untuk menukar-tambahkan emas dengan emas, apa pun alasan Anda.
لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ ، وَلاَ تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ ، وَلاَ تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ
“Janganlah engkau jual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau lebihkan sebagiannya di atas sebagian lainnya. Janganlah engkau jual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau lebihkan sebagiannya di atas sebagian lainnya. Serta janganlah engkau jual sebagiannya yang diserahkan dengan kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan dengan kontan.” (Hr. al-Bukhari dan Muslim)
Saudaraku, kemewahan dan kemajuan sarana dan prasarana lantai bursa, tempat memperdagangkan saham, dan berbagai surat berharga lainnya tidak sepantasnya menjadikan umat Islam silau sehingga melalaikan berbagai ketentuan syariat dalam perniagaan.
Tidak mengherankan bila berbagai hukum yang berlaku di pasar tradisional dengan berbagai jenis komoditi perdagangan dan metode transaksinya juga berlaku pada lantai bursa. Hal ini dikarenakan berbagai hukum syariat Islam senantiasa dikaitkan dengan inti setiap ucapan dan tindakan, bukan dengan penampilan luar dan berbagai hal sekunder lainnya. Wallahu Ta’ala a’lam bish-shawab.
Semoga salawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan sahabatnya. Amiin.
Penulis: Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel: PengusahaMuslim.Com
===
Catatan kaki:
[1] Al-Mantsur fi al-Qawa’id, oleh az-Zarkasyi, 1/50; al-Asybah wa an-Nazhair, oleh Jalaluddin as-Suyuthi, hlm. 105.
[2] Ensiklopedi Keputusan-keputusan al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami, yang bermarkas di kota Mekkah al-Mukarramah, hlm. 297, rapat ke-14, keputusan no. 4.